Minggu, 12 Agustus 2012

“Ibuku, bukan sembarang Ibu”

Jakarta, 18 juni 2012
Layaknya seperti ibu-ibu lainnya. Ibuku juga wanita biasa yang doyan didapur. Beliau adalah wanita karir, sebagai guru. Tapi, ibuku bukan sembarang ibu. Ibu adalah manusia yang hatinya diciptakan Allah dari mutiara teridah di dunia ini. Seperti itulah aku menggambarkan bagaimana kebaikan dan kelembutan ibuku, Sutra termahal yang pernah ada yang tidak siapapun mampu membelinya. Dan kesabarannya melebihi luas langit yang tidak pernah terukur. Ah, itupun terlalu biasa untuk menggambarkan Ibuku. Entahlah, tapi yang pasti. Ibu selalu membuatku menangis jika aku tidak mendapatkan ibu ketika aku mencarinya. Dan aku hanya bisa diam jika sudah bertemu dengannya.
Hemmm…
Kami, anak-anak ibu (aku dan adik laki-laki ku) sangat bangga memiliki ibu yang juga mampu berperan ganda sebagai ayah, kami sangat menyayanginya. Bagitupun sebaliknya, ibu sangat menyayangi kami. Aku tahu itu, kenapa ibu tidak pernah melewatkan puasa senin-kamisnya. Demi siapa kalau tidak demi kami. Setiap pagi ibu tunaikan dhuhanya, untuk siapa kalau juga bukan untuk kami. Dan setiap malam ibu tundukkan wajahnya, kau tau kenapa? Untuk mendoakan kebaikan dunia akhirat kami. Tapi kami tidak akan pernah bisa mengerti tentang semuanya, karena kedalaman hati ibu yang tidak pernah kami bisa mengukurnya.
Menjadi ibu dari dua orang anak tanpa ayah bukanlah hal mudah. Apalagi ketika itu aku dan adikku masih belum dewasa dan masih suka saling bertengkar , dan harga kebutuhan hidup keluarga yang semakin naik. ibu tidak pernah mengeluh tentang itu kepada kami.
Ibu menerimanya dengan tulus dan Ikhlas. Ibuku hebat karena Ibu selalu memiliki inisiatif sendiri bagaimana mensiasati kebutuhan. Kalau ibu mampu membeli daging maka hari itu ibu akan memasak ayam. Kalau ibu mampu membeli ayam maka hari itu ibu akan memasak telur. Kalau ibu mampu membeli telur maka hari itu ibu akan memasak tahu tempe. Dan kalaupun ibu tidak mampu membeli apa-apa, ibu akan memasak dadar tepung yang diberi bawang plus garam yang biasa kami sebut “empleng”. Yang sekarang merupakan makanan favorit saat ini untuk mengenang masa itu. Sehingga bisa dihitung dalam sebulan berapa kali kami bisa makan daging ataupun ayam.
Meski begitu, ibu tidak akan membiarkan kami kelaparan. Ibu Selalu mendahulukan kami anak-anaknya, baru kemudian ibu makan. Ibu tidak pernah mau makan sebelum kami makan. Ibu rela makan sisa-sisa makanan terakhir yang kadang sudah tidak ada lauknya. Sekalipun, siangnya ibu sedang puasa kamis dan belum berbuka dengan makanan sedikitpun, ibu hanya menenggak segelas air untuk membatalkan puasanya.  Ah, ibu tidak bisakah kau egois sedikit untuk memikirkan dirimu. Aku tidak tega membiarkannya tersiksa kelaparan seperti hari itu.
Namun, Ibu tidak juga kapok, malah kebiasaan itu dilakukan hingga sekarang. Entahlah kenapa ibu begitu?
Ibu pernah bercerita bahwa sejak ibu resmi menjadi pendamping ayah, ibu selalu bertekad menjadi seorang istri yang benar-benar istri. Kalo kata orang jawa, istri harus bisa menjadi sandangan*(1); istri yang mampu menjaga kehormatannya, kehormatan suami dan keluarga, istri harus bisa menjadi daringan*(2) keluarga; istri yang mampu menjaga harta suami, dan Istri harus bisa menjadi tempat pulang suami. Sehingga ibupun siap tunduk, patuh, dan taat kepada ayah.
Kedalaman spiritual dan keteguhan hati ibu dalam berumah tangga itulah yang membuat ayah tidak malu untuk belajar tentang agama dan mengaji kepada ibu. Hingga bukan ayah saja, ibu memiliki hingga lebih dari seratus murid yang belajar ngaji setiap harinya. Tetapi sekarang ayah justru bertingkah sebaliknya, pergi, dan meninggalkan kami entah kemana, meninggalkan semua tanggung jawabnya.
Kini aku baru menyadari kenapa ibu melakukan itu. Ibu adalah orang yang wajib dihormati tiga kali sebelum ayah. Yang derajatnya lebih tinggi tiga kali daripada ayah. Namun, ibu tetaplah seorang istri yang mempunyai kewajiban patuh, taat, hormat dan menjunjung tinggi derajat suami. Sampai sekarang pun Alhamdulillah kami masih dapat hidup sejahtera dan bahagia tanpa ayah. Biarlah sakit yang kami (khususnya ibu) rasakan dapat menjadi salah satu bekal kami untuk menuju surga.
Banyak hal itulah yang membuat aku sangat ingin menjadi seperti dirinya. Tapi ibu bilang, aku harus menjadi yang jauh lebih baik darinya.
Ibu juga sering bilang kalau, “Cara membalas orang yang berbuat buruk kepada kita adalah dengan berbuat baik kepadanya.”
Dan begitulah cara ibu mengajari kami bagaimana menjadi seorang ibu yang bukan sembarang Ibu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar